Kamis, 15 September 2011

PERSIJA AMPE MATI

pERSIJA, di dadaku

PERSIJA, kebanggaan ku

Ku yakin hari ini pasti menang…


Ya, ini merupakan sepenggal lirik mars persija yang sering dinyanyikan serentak oleh puluhan ribu pendukungnya ketika kick off pertandingan dimulai. Lirik lagu yang akan mengubah aura Stadion menjadi “keramat” dan sangat khidmat seperti ritual keagamaan. Mungkin inilah yang disebut ketika sepakbola menyerupai agama bagi manusia. Bagi para penganut bolaisme, menonton pertandingan baik kandang ataupun tandang adalah “ritual” wajib yang harus dilakukan.


Banyak hal ini yang saya temui ketika menjalankan “ritual”ini. Mulai dari friendship sampai musuh abadi, dari sanjungan sampai caci maki yang terkadang diiringi hujan batu dari pendukung lawan, dari kota yang sangat welcome sampai kota yang mengharamkan entitas kami. Lalu untuk apa hal tersebut dilakukan? LOYALITAS! Mungkin kata yang memuakkan tuk didengar karena sangat bosan dengan kata tersebut terlebih lagi bagi orang-orang yang menjalankan kegiatan ini. Saya juga heran kenapa saya menjalankan hal ini, mungkin tak jauh berbeda seperti panggilan Tuhan kepada umat-Nya untuk berjihad di jalan-Nya dan sulit untuk menjelaskan kenapa semua ini bisa dilakukan. Awalnya terlihat biasa tetapi semua akan berubah drastis ketika moment-moment tertentu dan akan mengubah rasa tersebut menjadi luar biasa yang akan bergelora dan dipenuhi rasa bersemangat untuk terus mendukungnya.

Adakalanya ketika loyalitas mencapai titik nadir, titik yang membuat saya seperti akan berhenti dari semua ini, menggantungkan atribut kebesaran, menyimpan kartu tanda anggota dalam lemari kemudian menguncinya rapat-rapat serta menghapus memori yang berkaitan dengan “kegilaan” ini. Hal itu nyaris saya alami pada tahun 2004 dan 2005 ketika 11 orang pahlawan Jakarta harus gigit jari untuk meraih gelar juara, padahal kans untuk juara tidak besar tetapi sangat besar!! Saat itu saya seperti umat beragama yang tidak lagi menjalankan ritual nan agung kepada Tuhannya. Tetapi entah mengapa seperti ada magnet besar yang terus menarik saya tuk terus berjuang mendukungnya dan menggilainya.

“Kegilaan” yang mungkin bagi penyuka tim-tim asing dinilai tak ubahnya hanya segerombolan anak muda dengan atribut oranye kebanggaan yang mereka puja dan sering ribut dengan suporter lawan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pride, hal yang mereka tak miliki, Kebanggaan yang hakiki. Bukan sekedar bangga memiliki kaos asli ataupun keanggotaan yang mendapat lisensi dari pusat di negeri londo sana. Kebanggaan yang nyata karena memilikinya, merasakan semangatnya secara langsung, melihat dengan mata betapa peluhnya pahlawan-pahlawan Persija berjuang membawa nama besar tim dan kota ini. Pahlawan yang sangat bangga karena dapat membela panji-panji kebesaran Sang Macan! Jika pemain sangat bangga dengan entitasnya, lalu kenapa masih ada yang meragukan akan kebanggaan yang sangat nyata ini? Atau terlalu malu terhadap apapun yang berasal dari lokal? Entahlah.


Untuk itu banggalah kalian yang menjadi entitas ini, kalian akan sangat menghargai artinya sebuah bangsa meskipun sudah jadi rahasia umum tak ada yang dapat dibanggakan kecuali sisa-sisa semangat nasionalisme. Mungkin dapat dikatakan dari lokal untuk bangsa, dari Persija untuk Garuda. Hendaknya “kegilaan” berbalut cinta ini melebihi kebencian terhadap apapun. Kebencian yang akan membawa kita pada lembah hitam dan terjebak dengan retorika konflik di dunia maya atapun dunia “gila” kita. Bukan saya tak membenci kaum yang mengharamkan kehadiran dan benci dengan atribut suci kita, tetapi konteksnya lebih kepada kecintaan terhadap tim yang kita puja. Ketika rasa cinta itu sangat besar maka disaat ada yang menghalangi pahlawan Jakarta barulah rasa benci itu ditimbulkan. Jadi mulailah memanage rasa benci, tahu kapan harus mengeluarkannya atau membuangnya jauh-jauh dari entitas ini.


Jadikanlah “kegilaan” ini sebagai pelengkap hidup, pelengkap yang akan membuat hidup ini lebih berwarna serta menarik dan tidak monoton dengan hal-hal rutinitas sehari-hari. Sehingga “kegilaan” ini akan bermetaforfosa menjadi hal yang sangat dijaga dan tak pernah terpikir untuk meninggalkan ataupun melupakannya. Jangan pernah menjadikan hidup ini sebagai bagian yang melengkapi “kegilaan” ini karena dunia tidak berkutat pada hal ini saja, tetapi tanpa mengurangi loyalitas pada Sang Macan.


Akhirnya, mencintainya adalah mencintai kehidupan, hidup akan terus ada selama nafas masih berhembus, seperti itulah cinta yang suci kepada Persija akan terus ada selama nafas berhembus, selama raga belum berpisah dengan nyawa. Semoga tulisan ini menjadi pelecut semangat buat saya khususnya dan rekan-rekan sekalian atas pencapaian kurang maksimal yang dicapai persija musim ini agar kita selalu ada dijalannya. Mohon maaf bila ada kata-kata yang kurang berkenan
PERSIJA AMPE MATI!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar