Senin, 26 Desember 2016

Menapaki ”Uhuru Peak” , puncak kebebasan di Gunung Putih dari timur laut Transylvania, Mt. Kilimanjaro


Jambo,jambo,jambo !!!
Tiba di Bandara Internasional kilimanjaro

Salam penyambutan yang terdengar begitu lantang ,sapaan khas dengan bahasa Swahili menyambut kedatangan kami di Bandara Internasional Kilimanaro. Akhirnya setelah menempuh perjalanan udara sekitar 16 jam, kami tiba di tanah Afrika, di Bandara kami disambut oleh tim dari Leken Adventure yang akan memandu kami selama berkegiatan. Tak lama berselang,setelah saling berkenalan,kami langsung bergerak dengan minibus yang telah disediakan menuju kota Arusha, kota tempat kami menginap sebelum mendaki Kilimanjaro. Perjalanan menuju kota Arusha ditempuh selama 2 jam perjalanan, kita melewati padang-padang savana, sejauh mata memandang di kanan kiri jalan yang kita lewati menghampar padang savanna yang luas dan ramai oleh lalu lalang hewan ternak, sementara itu dari kejauhan tampak Gunung Kilimanaro dan Gunung Meru dengan gagahnya. Suasana peralanan layaknya suasana jalan utama trans Sumbawa di Indonesia. Setibanya di kota Arusha, kami menuju Peace Hotel, tempat kami menginap. Arusha adalah kota di  bagian utara Tanzania yang berbatasan dengan Kenya. Arusha merupakan kota  sentral yang digunakan  oleh para wisatawan, baik yang hendak mendaki Kilimanjaro atau melakukan perjalanan safari ke Serengeti. Disini , kami meggunakan waktu untuk beristirahat dan menyiapkan kebutuhan logistic tambahan, terdapat  banyak supermarket  yang dapat kita kunjungi ataupun pasar tradisional. Perlu  diketahui di Kota Arusha memiliki tingkat kriminal yang tinggi, untuk  itu  sebaiknya kita didampingi  pemandu lokal saat berkeliling di  kota Arusha, khususya pada waktu malam hari. Kendaraan yang  lalu lalang di kota  Arusha  mengingatkan  kita akan suasana kota Jakarta era 1970-1980, dimana masih  banyak kendaraaan-kendaraan klasik, khususnya untuk  kendaraan roda dua. Kota Arusha ini berada pada ketinggian 1387 m, dengan udara yang cukup sejuk di bawah kaki Gunung Meru.
 
JAMBO ! "strong climber is strong drinker"

Mengenal Kilimanjaro , gunung putih dari timur laut Transylania 
The Landscape of Uhuru Peak Mt. Kilimanjaro

Kilimanjaro berasal dari bahasa Swahili, Kilima yang berarti gunung dan Njaro yang berarti putih atau Cahaya sehingga Kilimanjaro berarti gunung putih atau gunung yang bercahaya. Dinamakan demikian karena Gunung Kilimanjaro merupakan gunung yang atapnya terdapat salju abadi, salah satu dari tiga gunung di wilayah tropis yang bersalju seperti haalnya Carstensz di Indonesia dan Cayambe di Ekuador. Selan itu menurut seeorang Kaisar Jerman, Kaiser Wihelm Spitze, Gunung Kilimanjaro disebut Gunung di Timur Laut Transylvania. Gunung Kilimanjaro merupakan gunung berapi tertinggi di dunia yang berdiri bebas, dengan ketinggian 4600 mdpl bila di ukur dari kaki gunung. Puncak Kilimanjaro adalah puncak tertinggi di benua Afrika, yang ketinggiannya mencapai 5.895 meter diatas permukaan laut. Puncak kilimanjaro juga termasuk dalam daftar Seven Summits ( tujuh puncak tertinggi di dunia yang mewakili tujuh benua). Secara administratif Kilimanjaro terletak di kota Moshi, Tanzania, Afrika Timur. Kilimanjaro memiliki luas sekitar 292 mil (756 kilometer persegi) yang termasuk dalam wilayah Kilimanjaro National Park (KINAPA), kawasan ini disahkan menjadi taman nasional sejak 1973 yang kemudian pada tahun 1987 diakui oleh PBB sebagai warisan alam dunia.
Kilimanjaro adalah gunung api strato raksasa yang sekarang tidak aktif, namun memiliki fumarol yang mengeluarkan gas di kawah yang terletak di puncak utama Kibo atau yang biasa dikenal dengan puncak Uhuru yang menurut bahasa Swahili berarti puncak kebebasaan. Orang pertama yang berhasil mencapai puncak Uhuru adalah Johannes Kinyala Lauwo dari korps pengintai angkatan darat Marangu dan ia berhasil mendakinya berulang kali sebanyak 9 kali. Sedangkan, orang asing yang pertama berhasil mencapai puncak Uhuru adalah Hans Mayer, Pendaki dari Jerman dan Ludwig Purschller pendaki dari Austria. Mereka berdua dipandu oleh Johanes Lauwo sampai ke puncak Uhuru pada 6 Oktober 1889. Kilimanjaro memiliki 3 puncak yaitu Puncak Uhuru (5.895 mdpl), Puncak Mawenzi (5.149 mdpl), Puncak Shira ( 3.962 mdpl).
Untuk Rute pendakian Gunung Kilimanjaro memiliki 7 rute pendakian yang biasa digunakan, yaitu Marangu, Rongai, Machame, Lemosho, Umbwe, Shira dan Mweka. Rute yang sering digunakan untuk pendakian antara lain Marangu , Machame dan Mweka (hanya untuk turun). Jika melalui rute Marangu, biasanya perlu 4 – 5 hari untuk mencapai puncak, dalam sepanjang rute marangu maka akan dijumpai pondok – pondok untuk para pendaki yang memiliki fasilitas untuk memasak dan mandi, bahkan ada beberapa yang dapat dialiri listrik. Tahap terakhir pendakian sebelum puncak di jalur ini adalah puncak kibo (4.700 mdpl) di jalur ini butuh waktu sekitar 7 sampai 8 jam untuk mencapai Puncak Uhuru, jalur Marangu terkenal dengan sebutan “Coca-cola route”. Untuk Jalur Machame merupakan jalur terpanjang dan terindah untuk pendakian kilimanjaro yang butuh waktu sekitar 5 – 6 hari untuk mendakinya, selain terpanjang jalur ini memiliki pemandangan yang sangat indah karena akan melewati hutan hujan tropis, kemudian hamparan tanaman lobelia (tanaman khas kilimanjaro) dan kemudian padang savana yang sangat luas. Untuk pendakian sebelum puncak, akan di mulai dari baraffu (4673 mdpl) dari sini butuh waktu sekitar 8-10 jam untuk mencapai puncak Uhuru, jalur Machame terkenal dengan sebutan “whisky route”. Untuk jalur turun Kilimanjaro memiliki jalur khusus yaitu jalur Mweka, jalur ini dikhususkan untuk turun karena yang memiliki 3 pos yaitu Milenia Camp (3790 mdpl), Mweka Hut (3.100 mdpl), dan Mweka Gate (1.700 mdpl).
Tantangan terbesar dalam pendakian gunung kilimanjaro adalah kesabaran dalam proses pendakian yang terbilang cukup panjang dan suhu ketika melakukan pendakian ke puncak Uhuru yang dapat mencapai minus 20°C sehingga dapat mengakibatkan menurunnya stamina tubuh dan penyakit ketinggian (acute mountain sickness) yang dapat menyerang para pendaki secara tiba tiba, karena dalam pendakian puncak anda akan menambah ketinggian sekitar 1.200 mdpl dalam sehari, efek yang ditimbulkan dari penyakit tersebut kepala terasa pusing, mual serta muntah, keluar cairan dari hidung serta tubuh yang terasa lemas  tak berdaya.   
Gunung Kilimanjaro saat ini sudah mulai kehilangan salju yang menyelimuti puncaknya, gletser yang menyelimuti puncak ini sejak 11.700 tahun yang lalu semakin menipis dibandingkan dengan abad lalu dan berkurang lebih dari 80% menurut penelitian Lonnie Thompson seorang Paleoklimatologis dari Ohio State University dan diperkiran saljunya akan menghilang sekitar tahun 2015 hingga 2020.  
Kilimanaro memiliki berbagai ekosistem, termasuk hutan hujan tropis, sabana, gurun, hutan pegunungan, tanaman sub alpine dan zona alpine. Kilimanaro juga memiliki berbagai macam jenis hutan yang mengoleksi sekitar 1200 spesies tanaman vascular. Hutan pegunungan ocotea berada di lereng selatan yang basah. Hutan cassipourea dan Juniperus tumbuh di lereng utara yang kering. Hutan Erica Subalpine di ketinggian 4100 mdpl mewakili hutan elevasi awan tertinggi di Afrika. Sedangkan untuk spesies yang ada diantaranya monyet, babun zaitun, musang, macan tutul, babi dan burung-burung elang Afrika yang terbang bebas di Kilimanaro.

Welcome to the Jungle
Entry Point Machame Gate

Akhirnya tiba waktu kami memulai pendakian,pagi itu 27 February 2016 suasana kota Arusha yang begitu cerah menambah semangat kami yang tak sabar untuk segera memulai pendakian, pagi hari kami berangkat dari kota Arusha menuju gerbang pendakian Machame Gate. Saya bersama rekan saya Sofyan Arief Fesa (ian), yang merupakan salah satu dari 7 Summiters Indonesia akan bertugas memandu pendakian Kilimanjaro yang beranggotakan 8 orang. Anggota tim terdiri dari 5 orang laki-laki dan 3 orang perempuan, mayoritas merupakan pendaki lawas, yang usianya tidak lagi muda namun masih memiliki semangat dan daya juang layaknya anak muda. Kami menuju Machame dengan bus yang telah disediakan, perjalanan ditempuh selama 2-3 jam, suasana sepanjang perjalanan terasa seperti suasana perjalanan menuju gunung-gunung di Pulau Jawa, kita melewati desa-desa kecil, perkebunan dan ladang penduduk.
Pukul 11:50 kami telah tiba di Machame Gate. Segera saja kami menuju sebuah pondokan yang biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat yang berada di dekat loket pendaftaran. Disini kami akan mengurus perizinan pendakian dan makan siang terlebih dahulu sebelum memulai pendakian. Dalam pendakian ini, kami akan dipimpin oleh leader local guide yaitu Paluo Joshua, Paulo dan ian mengurus perizinan dan mengatur porter yang akan membawa barang-barang logistic pendakian, sementara saya dengan yang lain menyempatkan waktu untuk makan siang lebih dahulu. Pengelolaan disini sangat rapi dan dikelola dengan disiplin, mulai dari pengurusan administrasi, pengecekan anggota, pengecekan barang logistic,pengelolaan papan-papan informasi mengenai regulasi pendakian sampai dengan pengecekan barang yang berpotensi menjadi sampah, dalam pendakian Kilimanjaro terdapat salah satu aturan mengenai larangan membawa minuman dengan botol plastic yang dijual di pasaran(air kemasan), hanya diperbolehkan menggunakan botol minum yang dapat diisi ulang, pengecekannya pun sangat ketat, bandingkan dengan negara kita yang mana hampir sebagian besar kita lihat di beberapa gunung sampah terbanyak dihasilkan dari botol air minum kemasan. Pengaturan tata bangunan juga dikelola dengan baik dan teridentifikasi dengan jelas, bangunan kantor pengelola dipenuhi para calon pendaki yang antri dengan tertib. Fasilitas umum tertata rapi dan bersih, papan pengumuman pendakian, larangan, imbauan serta peraturan pendakian terjajar apik di papan kayu dengan ukiran tulisan yang mudah dibaca. Pukul 14:30 kami pun memulai pendakian hari pertama, dari Machame Gate dengan ketinggian 1700 mdpl menuju Machame Camp dengan ketinggian 3100 mdpl. Total jarak pendakian yang akan ditempuh hari ini adalah 8 km selama sekitar 4-6 jam perjalanan. Kita akan melalui kawasan hutan hujan tropis dengan melewati jalan berbatu dan kerikil halus, kemudian trek akan menyempit saat memasuki pintu hutan, kita terus menyusuri punggungan dengan tingkat kecuraman yang tidak terlalu tinggi.
Memasuki hutan menuju Camp 1 Machame Camp
Camp 1 Machame Camp

Memasuki hari kedua pendakian, kita akan keluar dari zona hutan huan tropis yang tertutup dan memasuki area hutan terbuka kawasan “moorland” dengan pemandangan Puncak Shira. Pendakian menuju Shira Camp melewati bentang alam berupa tumbuhan tumbuhan dataran tinggi, dengan ciri tumbuhan yang tidak begitu tinggi seperti tumbuhan cantigi. Tumpukan bebatuan besarpun menghiasi perjanan di pendakian kedua ini menuju Shira Camp. Perjalanan hari ini akan ditempuh dengan jarak 10 km selama 5-6 jam perjalanan. Shira Camp berada pada ketinggian 3800 mdpl. Kami berangkat dari Machame Camp pukul 08:30 dan tiba di Shira Camp pukul 14:45. Setibanya di Shira Camp, kami segera masuk ke tenda makan untuk melakukan santap makan siang. Sore harinya kami melakukan aklimatisasi dengan berjalan keliling area Shira Cave dengan menambah ketinggian 200 mdpl, hal ini penting untuk kita lakukan agar esok hari tubuh kita lebih siap dengan kondisi ketinggian karena akan memasuki zona high altitude (>4000 mdpl). Setelah selesai aklimatisasi begitu tiba kembali di Shira Camp, kami disambut oleh para guide lokal dan porter yang semuanya berjumlah 37 orang yang sudah berkumpul bersama membentuk lingkaran besar, kami segera diajak bergabung bersama mereka, tak disangka mereka kemudian mengajak kami untuk bernyanyi dan menari bersama, kami semua pun mengikuti nyanyian dan tarian yang mereka bawakan, sungguh terhibur sekali kami mendapatkan sambutan yang luar biasa ini. Memang, saat mendaki Kilimanjaro, para guide dan porter biasa memberikan selebrasi dan tarian khas Kilimanjaro yang digunakan untuk salam penyembutan, perkenalan dan hadiah saat setelah mencapai Puncak Kilimanjaro. Setelah selesai bernyanyi dan menari, kami semua saling berkenalan satu sama lain dan berfoto bersama.
Siap berangkat menuju Shira Camp

Moorland 

salah satu titik terjal menuju Shira Camp

Memasuki Shira Cave


Ice Breaking Big Group " Hakuna matata"

Camp 2 Shira Camp

Di hari ketiga tantangan semakin berat, hari ini kami akan bergerak dari Shira Camp di ketinggian 3800 mdpl sampai ke Lava Tower dengan ketinggian 4600 mdpl, kemudian akan turun kembali ke ketinggian 3900 mdpl di Baranco Camp. Hal ini kami lakukan sebagai bagian dari proses aklimatisasi agar tubuh dapat menyesuaikan dengan kondisi ketinggian, sebagaimana prinsip yang ada “Climb High, Sleep Low”, kita naik ke ketempat yang lebih tinggi kemudian bermalam dan tidur di tempat yang lebih rendah. Hari ini kami mulai memasuki medan berpasir, kerikil dan akan melewati celah-celah diantara batu-batu besar. Terik matahari begitu terasa siang hari ini, panas menyengat tubuh kita, namun sesekali cuaca bisa berubah menjadi berkabut dan angin yang berhembus kencang, kita harus tetap berhati-hati berjalan menjaga kondisi tubuh agar tetap fit, belum lagi gejala-gejala penyakit ketinggian yang mulai terasa seperti pusing dan mual-mual. Kami berjalan dengan ritme yang stabil dan pelan sebagai proses aklimatisasi dengan ketinggian. Sepanjang perjalanan hari ini kami mulai melihat Kubah Masif Kilimanjaro, dengan pucuk putihnya yang nampak bercahaya, rasa lelah pun tergantikan dengan melihat pemandangan indah ini dan Puncak Kilimanjaro semakin dekat. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 6 jam perjalanan yang cukup melelahkan, kami akhirnya tiba di Lava Tower untuk istirahat makan siang memulihkan kondisi sebelum melanjutkan perjalanan menuju Baranco Camp. Perjalanan menuju Baranco Camp tidak terlalu berat, kami hanya jalan menurun menuju lembah,namun harus tetap fokus dan berhati-hati, karena jalur yang curam dan banyak bebatuan lepas. Sore hari kabut dan hujan rintik-rintik turun menemani perjalanan kita, jalur pendakian menjadi licin, kami terus berpacu agar sebelum gelap bisa tiba di Camp. Akhirnya pukul 18:30 seluruh anggota tim telah tiba di Baranco Camp bersamaan dengan akan terbenamnya matahari.                                                                                                                   
Menuju Lava Tower

                                                                      
Lava Tower 4600m, titik tertinggi aklimatisasi
                
            Pendakian hari keempat kami melewati jalur yang cukup berat namun tidak panjang seperti hari sebelumnya. Hari ini kami melewati Baranco Wall, sebuah tebing yang gagah berdiri di sudut lembah Baranco, untuk melewati jalur ini tidak memerlukan pengaman tali, hanya kita perlu berhati-hati melewatinya dan beberapa titik akan melakukan scrambling (teknik pendakian dimana kita tidak hanya menggunakan kaki untuk menambah ketinggian, tetapi juga akan menggunakan pegangan-pegangan tangan dengan batu atau batang-batang pohon untuk keseimbangan. Setelah sampai di puncak Baranco Wall kita akan naik turun 3 bukit dan lembah lagi untuk tiba di Karanga Valley dengan ketinggian 4050. Perjalanan hari ini kami tempuh selama 5 jam. Sore hari kami sudah tiba di Camp, kami isi aktivitas dengan berjalan-jalan di sekitar camp untuk aklimatisasi.
Menuju Baranco wall

Scrambling melewati Baranco Wall

            Memasuki hari kelima pendakian, kami menuju Camp terakhir sebelum menuju puncak, Barafu Camp 4673 mdpl. Jalur pendakian tidak terlalu panjang, namun terus menanjak, diperlukan kesabaran melewati jalur ini dalam perjalanan yang ditempuh selama 5 jam. Sore hari di Barafu Camp, jadwal kami semula adalah melakukan aklimatisasi menambah ketinggian sampai 200 mdpl, namun sore itu cuaca berkabut dan turun hujan es, sehingga demi menjaga kondisi agar tetap sehat kami memutuskan untuk beristirahat dan bercengkerama di tenda makan dan tidak jadi melakukan aklimatisasi dengan naik ke tempat yang lebih tinggi. Pukul 20:00 kami sudah beristirahat tidur untuk persiapan karena dinihari nanti akan mulai perjalanan menuju puncak.
view point menuju Barafu
Porter melewati Lintasan Karanga Valley-Barafu


Melakukan registrasi wajib dilakukan setibanya di setiap Camp

Barafu Camp  4673 , Camp terakhir sebelum ke puncak



Summit Attack !!!
Menuju Puncak

            Hari yang ditunggu-tunggu tiba, pukul 23:00 kami sudah bangun untuk mempersiapkan diri berjalan menuju puncak Kilimanjaro. Kami segera berganti pakaian yang akan digunakan untuk summit attack, setelah siap kami berkumpul di tenda makan, untuk menyantap makanan dan minuman hangat terlebih dahulu. Cuaca malam ini begitu cerah, bintang-bintang berhamburan di langit dengan gemerlap cahayanya, kami awali perjalanan menuju puncak dengan berdoa kepada Yang Maha Kuasa semoga perjalanan berjalan dengan lancar dan aman. Pukul 00:20 kami mulai bergerak dari Barafu Camp, Paulo Joshua, guide lokal kami memimpin di depan, semua berjalan bersama beriringin menjadi satu rombongan. Di tengah dingin yang menusuk sampai ke tulang dan angina yang berhembus kencang kami terus melangkah perlahan menuju puncak, setiap satu jam sekali kami beristirahat untuk mengatur nafas, minum dan makan beberapa snack untuk menambah kalori. Semakin menjelang pagi hari angin berhembus semakin kencang, sedikit saja berhenti, dinginnya begitu terasa, seakan menghadang perjalanan kami dan dalam perjalanan menuju puncak ini, dua orang anggota terhenti di ketinggian 5200 mdpl dan 5600 mdpl dikarenakan stamina dan kesehatan yang menurun, demi alasan keselamatan 2 orang tersebut diputuskan untuk turun kembali ke Barafu Camp. Kemudian, anggota tim yang lain terus melanjutkan perjalanan,kami berjalan pelan-pelan dengan penuh kesabaran, setelah berjuang melawan dingin dan angin, cahaya kehangatan yang kami tunggu-tunggu akhirnya tiba juga. Dari kejauhan kami mulai melihat matahari terbit muncul dengan indahnya dibalik Puncak Hans Meyer (5149 mdpl), puncak tertinggi Gunung Mawenzi, kesempatan ini kami gunakan untuk berisitirahat sejenak sambil mengabadikan moment indah ini. 
Sunrise point Puncak Hans Meyer
Stella Point
Summit ridge


       Selepas beristirahat sejenak, kami melanjutkan perjalanan kembali berjalan terus semakin curam dengan jalur yang berpasir seperti kita mendaki gunung Semeru atau Rinjani, sampai akhirnya tiba di bibir kawah Kibo, Stella Point dengan ketinggian 5756 mdpl.  Disini puncak uhuru telah nampak terlihat di ujung bibir kawah, kita hanya tinggal perlu berjalan menyusuri punggungan yang tidak terlalu curam namun cukup panjang, yang diperlukan waktu sekitar satu jam dari Stella Point menuju Uhuru Peak. Ditengah terik matahari yang semakin menyengat, udara semakin tipis dan angin yang berhembus kencang, kami terus berjalan tanpa pernah menyerah, walaupun rasanya tenaga ini seperti mau habis, sampai kemudian Uhuru Peak tampak sudah semakin dekat di depan mata kami, rasanya seperti ada tenaga tambahan untuk segera menapaki titik tertingginya, akhirnya tepat pada pukul 10:25 kami tiba di titik tertinggi benua Afrika, Uhuru Peak 5895 mdpl, rasa senang dan haru menyelimuti kami semua, kami saling berpelukan, bersalaman dan kemudian dengan senyum penuh kegembiraan kami berfoto bersama. Seperti sebutannya Uhuru Peak yang berarti Puncak Kebebasan, kami benar-benar merasakan suasana “kebebasan” saat berada di titik tertinggi benua Afrika, pemandangan indah bisa kita saksikan disini, hamparan glacier yang menyelimuti area sekitar puncak dan kawah Kibo tampak berkilauan cahaya-cahaya putih, hilang sudah rasa lelah yang kami alami sepanjang pendakian. 
Puncak Uhuru

        Sekitar 20 menit kami seleberasi di puncak , kami melanjutkan perjalanan turun kembali ke Barafu Camp. Walaupun dalam perjalanan turun, bukan berarti tantangan telah selesai, karena perjalanan turun juga menguras energy yang besar dan diperlukan kehati-hatian, fokus, menuruni jalur-jalur berbatu dan berpasir. Siang hari kami baru melihat bahwa jalur yang kami lalui dinihari tadi begitu curam dan jauh, tak terbayang rasanya kami telah melewatinya dinihari tadi. Dalam suasana yang sudah dalam kondisi kelelahan ini,beberapa anggota kami sudah mulai terkena halusinasi-halusinasi, rasanya tak sabar ingin segera beristirahat, melepas lelah di tenda dan segera menikmati hidangan yang nikmat. Disinilah diperlukan untuk kita tetap fokus dan saling menjaga satu sama lain sepanjang perjalanan turun. Menjelang sore hari kami sudah tiba kembali di Barafu Camp, segera saja kami beristirahat dan menyantap makan siang, untuk memulihkan kondisi setelah menempuh perjalanan panjang sekitar 15 jam naik turun dari Barafu menuju Uhuru Peak sampai turun kembali ke Barafu. Di Barafu kami beristirahat sekitar 2 jam untuk kemudian melanjutkan perjalanan turun lebih rendah lagi menuju Millenia Camp di jalur Mweka. Jalur Mweka adalah jalur yang digunakan khusus untuk turun, hanya diperlukan 2 hari untuk kita tiba di desa kembali. Perjalanan dari Barafu Camp menuju Milenia Camp diperlukan waktu 3 jam, sehingga di hari ini kami harus melalui perjalanan di malam hari, walaupun dalam kondisi yang belum terlalu fit setelah dari puncak namun sesuai perencanaan yang ada memang pilihan lebih baik adalah segera turun, agar nanti kita dapat istirahat yang maksimal di Millenia dan esok harinya perjalanan kita menuju Mweka Gate lebih singkat dan lebih nyaman. Pukul 22:00 semua anggota tim telah tiba di Millenia Camp, di tengah kelelahan yang kami alami, tiba-tiba setelah semua sampai di Millenia, kami mendapatkan kejutan sebuah kue tart sebagai ucapan selamat karena kami telah berhasil mencapai puncak Kilimanjaro. Kami pun segera menyantap makan malam dan kue tart tersebut. Kemudian setelah makan malam kami bersih-bersih dan bersiap untuk tidur, malam ini kami bisa tidur dengan nyenyak diliputi penuh rasa kegembiraan setelah melewati hari-hari yang melelahkan.
Millenia Camp


            Hari terakhir pendakian, Perjalanan turun dari Millenia Camp menuju Mweka Gate akan melewati jalur hutan hujan tropis, dengan waktu tempuh perjalanan dselama 5 jam.  Kami bangun dengan begitu antusias, suasana kegembiraan meliputi kami, kerinduaan akan suasana kota dan menghubungi orang-orang tercinta di tanah air begitu tinggi untuk dapat berbagi cerita bahagia ini. Kami sempatkan pagi hari ini untuk berfoto-foto, bercengkerama, saling menceritakan kembali kisah-kisah pendakian kemarin yang kadang membuat kami tertawa geli mengingat kejadian-kejadian penuh perjuangan menapaki puncak tertinggi benua Afrika ini. 
(RM,Kilimanjaro 28 Feb - 9 Maret 2016)
Exit Point Mweka Gate

Rabu, 03 Agustus 2016

Mengenal Lebih Dekat Budaya Masyarakat Dayak & Kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah



Indonesia adalah negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama dan ras, dimana setiap suku atau agama tersebut memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang beragam, unik dan khas. Beragam budaya tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan nilai-nilai budaya tersebut terus diturunkan sampai generasi saat ini di era globalisasi. Tentunya, keanekaragaman budaya tersebut menjadi sebuah kebanggaan bagi kita bangsa Indonesia yang menjadikannya sebuah kekayaan bangsa yang harus kita jaga dan terus kita lestarikan keberadaannya. Salah satu cara untuk kita dapat menjaga dan melestarikan budaya adalah dengan mengenalnya langsung, mendatangi berbagai wilayah-wilayah Indonesia sehingga kita dapat mengetahui secara langsung bagaimana sebuah budaya tersebut hidup di dalam kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki beragam suku yaitu suku jawa, betawi, sumatera, bugis, batak, dayak, papua dan lain sebagainya. Setiap suku tersebut memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang sampai saat ini masih terus dipertahankan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu budaya suku yang akan kita ulas disini adalah budaya masyarakat suku dayak yang menganut agama kepercayaan Kaharingan khususnya di wilayah Kalimantan Tengah.
Suku Dayak adalah nama penduduk asli Kalimantan yang saat ini masih banyak tinggal di pedalaman Kalimantan. Suku asli dayak mempunyai budaya maritim atau bahari karena nama mereka banyak mempunyai arti dan berhubungan dengan sungai (karena banyaknya sungai yang terdapat di pedalaman Kalimantan). Arti dari kata ‘dayak’ itu sendiri masih terdapat beberapa versi yaitu ‘Dayak’ berarti manusia, sementara banyak lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Ada banyak suku Dayak di Kalimantan, Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Suku terbanyak adalah suku Dayak Kenyah yang memiliki aksesoris sebagai perhiasan tubuh mereka. Umumnya suku Dayak memiliki perhiasan berupa manik-manik yang terbuat dari batu alam. Masyarakat Dayak khususnya pria Dayak tidak mengenal aksesoris batu lain selain perhiasan manik-manik. Aksesoris yang umumnya digunakan adalah yang berasal dari hewan perburuan mereka, seperti taring dan gigi beruang, taring babi. Jika di Papua taring babi dijadikan perhiasan yang ditusukkan di hidung, pada Suku Dayak, taring tersebut dijadikan “buah” kalung mereka. Selain itu ciri khas Suku Dayak lain yang unik adalah tato, di mana tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam. Tato bagi masyarakat etnis dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang.
Sebagian masyarakat Dayak yaitu masyarakat Dayak Meratus yang berada di Kalimantan Selatan, oleh Dayak Tunjung, Benuaq (Kalimantan Timur), Dayak Ngaju yang berada di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalimantan Barat) menganut agama kepercayaan yang disebut dengan Kaharingan. Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang,  Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama,  Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang. Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok. Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah. Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah,  Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
            Masyarakat Dayak memiliki berbagai upacara/ritual adat yang sampai saat ini masih terus dilaksanakanan yaitu
1.      Ritual Tiwah





Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung. Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalimantan Tengah. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa. Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.
Bapak Sidie, pisor atau pemimpin ritual tiwah di desa Tewang Rengas, Katingan menjelaskan, ritual tiwah merupakan rukun kematian tingkat terakhir yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan. Bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesiapan keluarga yang ditinggalkan.Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah. Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah. Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi.








2.      Potong Pantan

Potong Pantan adalah tradisi menyambut tamu yang terdapat di masyarakat suku Dayak. potong pantan merupakan tradisi penyambutan tamu yang sarat dengan makna kekeluargaan. Semboyan “tamu adalah raja” masih berlaku bagi masyarakat di tempat ini. Mereka akan menyambut kedatangan para tamu dengan meriah. Seluruh penduduk desa, dari ketua adat hingga anak-anak, ikut menyambut dengan ritual adat yang mereka sebut potong pantan. Upacara ini telah dilakukan sejak nenek moyang mereka, dan diwariskan ke generasi berikut hingga kini. Dalam upacara ini, tamu yang datang akan diminta memotong batang bambu hijau yang dipasang melintang di pintu masuk dengan mengunakan sebilah pedang Mandau. Musik tradisional dan nyanyian menggunakan bahasa Sangian mengiringi jalannya upacara. Bahasa Sangian merupakan bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan dunia arwah. Sebelum dipersilakan masuk rumah, biasanya antara tamu dan tetua adat, pertama-tama, diajukan beberapa pertanyaan, seperti siapa nama Anda, dari mana, dan apa tujuan datang ke daerah ini. Semua pertanyaan itu harus dijawab. Dalam proses itu, setiap selesai menjawab satu pertanyaan, bambu itu pun dipotong sebagian hingga selesai. Tamu baru boleh masuk ketika semua penghalang itu putus atau terpotong secara sempurna. Tradisi ini melambangkan orang Dayak memiliki prinsip keterbukaan, menerima siapa pun yang datang ke wilayahnya asal dengan iktikad baik. Tradisi ini ada juga yang hanya melilitkan kain sepanjang kayu pantan.



Upacara ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk bagi penduduk setempat maupun para tamu. Yang perlu Anda ketahui dalam tradisi ini, secara kepercayaan adat setempat, apabila kayu tersebut dipotong tanpa halangan, berarti tamu tersebut dapat diterima dan dilancarkan jalannya saat berkunjung ke sana. Begitu pun sebaliknya, apabila tidak berhasil dipotong secara lancar, berarti tamu tersebut patut dipertanyakan perihal maksud dan tujuan kedatangan mereka ke tanah suku Dayak tersebut. Setelah bambu terpotong, semua orang akan berteriak dan bertepuk tangan. Mereka bergembira lantaran rintangan telah berhasil dilalui. Iringan tabuhan musik pun kian keras, menandakan puncak tradisi potong pantan. Setelah prosesi potong kayu telah lewat, penduduk lalu mengoleskan bubuk putih di pipi atau minyak kelapa di ubun-ubun para tamu. Acara pun dilanjutkan dengan suguhan tari-tarian yang diiringi dengan musik tradisional. Dalam menyambut tamu, mereka juga memotong hewan korban sebagai bentuk penghormatan bagi arwah nenek moyang. Ritual ini dipimpin seorang pemuka agama yang juga diiringi doa dengan menggunakan bahasa Sangian. Upacara yang sama dilakukan saat para tamu hendak meninggalkan tempat tersebut. Prosesi yang sama dilalui para tamu, seperti dioleskan minyak kelapa dan taburan bubuk putih di pipi dan sebagainya.
Pantan bisa juga diartikan sebagai pohon penghalang atau kayu perintang. Ini biasanya diperuntukkan dalam menyambut tamu-tamu pejabat atau tamu terhormat dari luar daerah, atau menyambut para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan. Secara nilai, acara potong pantan mengandung dua makna, yaitu sebagai ungkapan kebanggaan, suka cita dan mengusir, menghalau firasat buruk, mimpi buruk, serta gangguan penghalang dan rintangan. Dengan demikian, para tamu yang memotong pantan selalu mendapat perlindungan dari Pencipta Alam Semesta atau Yang Maha Kuasa sehingga para tamu tadi mendapat kesehatan, umur yang panjang, kemudahan rezeki, dan dalam menjalankan tugas mendapat kesuksesan. Berdasarkan sejarah, ternyata penghalang yang digunakan dalam tradisi potong pantan ini memiliki kegunaan dan peruntukannya masing-masing yaitu sebagai berikut :
1.      Pantan haur (bambu) digunakan untuk penyambutan bagi orang yang baru pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan dan pantan jenisnya menggunakan haur kuning (bambu kuning).
2.      Pantan balanga (tajaw) akan digunakan pada saat mengadakan acara perkawinan adat, sebagai simbol kebangsawanan atau status sosial.
3.      Pantan garantung (gong) tujuannya sama dengan balanga (tajaw).
4.      Pantan bawi yaitu menggunakan para gadis remaja, biasanya dilakukan pada waktu pesta perkawianan.
5.      Pantan bahalai (kain panjang) digunakan untuk para tamu pejabat, orang terhormat status perempuan yang sulit menggunakan Mandau.
6.      Pantan tewu (tebu) digunakan pada acara kegiatan bergotong royong saat-saat panen atau mengerjakan ladang.

3.      Rumah Betang

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Biasanya Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu. Bagian dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap keluarga. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:
1.      Pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.
2.      Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak dan orang tua ada ketentuan tertentu dimana ruang tidur orang tua harus berada paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi rumah.
3.      Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
4.      Tangga yang disebut hejo. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus berjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungkapan rasa solidaritas menurut mitos tergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
5.      Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainnya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar. Lantai pante terbuat dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
6.      Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarit halus menyerupai jumbai-jumbai ruas demi ruas.
7.      Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.
8.      Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai ruan tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
9.      Pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam, hal ini dianggap sebagai symbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.
10.  Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang datang melanda. Hampir semua betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.
11.  Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.
12.  Pada halaman depan betang biasanya terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat. Pada halaman depan betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.
13.  Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu. Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.
Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekedar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu. Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul. Tak dapat dipungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kokoh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya. Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap. Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.
Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus. Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.
(Berdasarkan observasi, wawancara dan catatan perjalanan Jelajah Wisata Budaya Kabupaten Katingan, Agustus 2016 )