Rabu, 03 Agustus 2016

Mengenal Lebih Dekat Budaya Masyarakat Dayak & Kepercayaan Kaharingan di Kalimantan Tengah



Indonesia adalah negara yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama dan ras, dimana setiap suku atau agama tersebut memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang beragam, unik dan khas. Beragam budaya tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang kita dan nilai-nilai budaya tersebut terus diturunkan sampai generasi saat ini di era globalisasi. Tentunya, keanekaragaman budaya tersebut menjadi sebuah kebanggaan bagi kita bangsa Indonesia yang menjadikannya sebuah kekayaan bangsa yang harus kita jaga dan terus kita lestarikan keberadaannya. Salah satu cara untuk kita dapat menjaga dan melestarikan budaya adalah dengan mengenalnya langsung, mendatangi berbagai wilayah-wilayah Indonesia sehingga kita dapat mengetahui secara langsung bagaimana sebuah budaya tersebut hidup di dalam kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki beragam suku yaitu suku jawa, betawi, sumatera, bugis, batak, dayak, papua dan lain sebagainya. Setiap suku tersebut memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang sampai saat ini masih terus dipertahankan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu budaya suku yang akan kita ulas disini adalah budaya masyarakat suku dayak yang menganut agama kepercayaan Kaharingan khususnya di wilayah Kalimantan Tengah.
Suku Dayak adalah nama penduduk asli Kalimantan yang saat ini masih banyak tinggal di pedalaman Kalimantan. Suku asli dayak mempunyai budaya maritim atau bahari karena nama mereka banyak mempunyai arti dan berhubungan dengan sungai (karena banyaknya sungai yang terdapat di pedalaman Kalimantan). Arti dari kata ‘dayak’ itu sendiri masih terdapat beberapa versi yaitu ‘Dayak’ berarti manusia, sementara banyak lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Ada banyak suku Dayak di Kalimantan, Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Suku terbanyak adalah suku Dayak Kenyah yang memiliki aksesoris sebagai perhiasan tubuh mereka. Umumnya suku Dayak memiliki perhiasan berupa manik-manik yang terbuat dari batu alam. Masyarakat Dayak khususnya pria Dayak tidak mengenal aksesoris batu lain selain perhiasan manik-manik. Aksesoris yang umumnya digunakan adalah yang berasal dari hewan perburuan mereka, seperti taring dan gigi beruang, taring babi. Jika di Papua taring babi dijadikan perhiasan yang ditusukkan di hidung, pada Suku Dayak, taring tersebut dijadikan “buah” kalung mereka. Selain itu ciri khas Suku Dayak lain yang unik adalah tato, di mana tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam. Tato bagi masyarakat etnis dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial seorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku terhadap kemampuan seseorang.
Sebagian masyarakat Dayak yaitu masyarakat Dayak Meratus yang berada di Kalimantan Selatan, oleh Dayak Tunjung, Benuaq (Kalimantan Timur), Dayak Ngaju yang berada di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang. Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalimantan Barat) menganut agama kepercayaan yang disebut dengan Kaharingan. Kaharingan berasal dari bahasa Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon Kehidupan. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang,  Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama,  Agama Huran alias agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama nenek-moyang. Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan keduanya tak terlalu mencolok. Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya. Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya atau ritual penting dari agama Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara Basarah. Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah,  Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Kaharingan yang disimbolkan dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut: pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Simbol pada Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan antara dunia dan akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
            Masyarakat Dayak memiliki berbagai upacara/ritual adat yang sampai saat ini masih terus dilaksanakanan yaitu
1.      Ritual Tiwah





Ritual Tiwah yaitu prosesi menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju sebuah tempat yang bernama sandung. Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalimantan Tengah. Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa. Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga. Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.
Bapak Sidie, pisor atau pemimpin ritual tiwah di desa Tewang Rengas, Katingan menjelaskan, ritual tiwah merupakan rukun kematian tingkat terakhir yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan. Bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesiapan keluarga yang ditinggalkan.Sebelum upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup menggelar upacara tiwah. Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal dunia menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah. Puncak acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun, sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau, sapi, dan babi.








2.      Potong Pantan

Potong Pantan adalah tradisi menyambut tamu yang terdapat di masyarakat suku Dayak. potong pantan merupakan tradisi penyambutan tamu yang sarat dengan makna kekeluargaan. Semboyan “tamu adalah raja” masih berlaku bagi masyarakat di tempat ini. Mereka akan menyambut kedatangan para tamu dengan meriah. Seluruh penduduk desa, dari ketua adat hingga anak-anak, ikut menyambut dengan ritual adat yang mereka sebut potong pantan. Upacara ini telah dilakukan sejak nenek moyang mereka, dan diwariskan ke generasi berikut hingga kini. Dalam upacara ini, tamu yang datang akan diminta memotong batang bambu hijau yang dipasang melintang di pintu masuk dengan mengunakan sebilah pedang Mandau. Musik tradisional dan nyanyian menggunakan bahasa Sangian mengiringi jalannya upacara. Bahasa Sangian merupakan bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan dunia arwah. Sebelum dipersilakan masuk rumah, biasanya antara tamu dan tetua adat, pertama-tama, diajukan beberapa pertanyaan, seperti siapa nama Anda, dari mana, dan apa tujuan datang ke daerah ini. Semua pertanyaan itu harus dijawab. Dalam proses itu, setiap selesai menjawab satu pertanyaan, bambu itu pun dipotong sebagian hingga selesai. Tamu baru boleh masuk ketika semua penghalang itu putus atau terpotong secara sempurna. Tradisi ini melambangkan orang Dayak memiliki prinsip keterbukaan, menerima siapa pun yang datang ke wilayahnya asal dengan iktikad baik. Tradisi ini ada juga yang hanya melilitkan kain sepanjang kayu pantan.



Upacara ini dilakukan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang buruk bagi penduduk setempat maupun para tamu. Yang perlu Anda ketahui dalam tradisi ini, secara kepercayaan adat setempat, apabila kayu tersebut dipotong tanpa halangan, berarti tamu tersebut dapat diterima dan dilancarkan jalannya saat berkunjung ke sana. Begitu pun sebaliknya, apabila tidak berhasil dipotong secara lancar, berarti tamu tersebut patut dipertanyakan perihal maksud dan tujuan kedatangan mereka ke tanah suku Dayak tersebut. Setelah bambu terpotong, semua orang akan berteriak dan bertepuk tangan. Mereka bergembira lantaran rintangan telah berhasil dilalui. Iringan tabuhan musik pun kian keras, menandakan puncak tradisi potong pantan. Setelah prosesi potong kayu telah lewat, penduduk lalu mengoleskan bubuk putih di pipi atau minyak kelapa di ubun-ubun para tamu. Acara pun dilanjutkan dengan suguhan tari-tarian yang diiringi dengan musik tradisional. Dalam menyambut tamu, mereka juga memotong hewan korban sebagai bentuk penghormatan bagi arwah nenek moyang. Ritual ini dipimpin seorang pemuka agama yang juga diiringi doa dengan menggunakan bahasa Sangian. Upacara yang sama dilakukan saat para tamu hendak meninggalkan tempat tersebut. Prosesi yang sama dilalui para tamu, seperti dioleskan minyak kelapa dan taburan bubuk putih di pipi dan sebagainya.
Pantan bisa juga diartikan sebagai pohon penghalang atau kayu perintang. Ini biasanya diperuntukkan dalam menyambut tamu-tamu pejabat atau tamu terhormat dari luar daerah, atau menyambut para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan dengan membawa kemenangan. Secara nilai, acara potong pantan mengandung dua makna, yaitu sebagai ungkapan kebanggaan, suka cita dan mengusir, menghalau firasat buruk, mimpi buruk, serta gangguan penghalang dan rintangan. Dengan demikian, para tamu yang memotong pantan selalu mendapat perlindungan dari Pencipta Alam Semesta atau Yang Maha Kuasa sehingga para tamu tadi mendapat kesehatan, umur yang panjang, kemudahan rezeki, dan dalam menjalankan tugas mendapat kesuksesan. Berdasarkan sejarah, ternyata penghalang yang digunakan dalam tradisi potong pantan ini memiliki kegunaan dan peruntukannya masing-masing yaitu sebagai berikut :
1.      Pantan haur (bambu) digunakan untuk penyambutan bagi orang yang baru pulang dari medan perang dengan membawa kemenangan dan pantan jenisnya menggunakan haur kuning (bambu kuning).
2.      Pantan balanga (tajaw) akan digunakan pada saat mengadakan acara perkawinan adat, sebagai simbol kebangsawanan atau status sosial.
3.      Pantan garantung (gong) tujuannya sama dengan balanga (tajaw).
4.      Pantan bawi yaitu menggunakan para gadis remaja, biasanya dilakukan pada waktu pesta perkawianan.
5.      Pantan bahalai (kain panjang) digunakan untuk para tamu pejabat, orang terhormat status perempuan yang sulit menggunakan Mandau.
6.      Pantan tewu (tebu) digunakan pada acara kegiatan bergotong royong saat-saat panen atau mengerjakan ladang.

3.      Rumah Betang

Rumah Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil ladang, kebun maupun ternak).
Ciri-ciri Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai 30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang yang tingginya sekitar 3-5 meter. Biasanya Betang dihuni oleh 100-150 jiwa, Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu. Bagian dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap keluarga. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:
1.      Pusat atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los, harus berada ditengah bangunan.
2.      Ruang tidur, harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak dan orang tua ada ketentuan tertentu dimana ruang tidur orang tua harus berada paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi rumah.
3.      Bagian dapur harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
4.      Tangga yang disebut hejo. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus berjumlah ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu lagi di depan sebagai penanda atau ungkapan rasa solidaritas menurut mitos tergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
5.      Pante adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat lainnya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar. Lantai pante terbuat dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
6.      Serambi adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarit halus menyerupai jumbai-jumbai ruas demi ruas.
7.      Sami berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang memerlukan.
8.      Jungkar. Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai ruan tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ditempatkan di tangga masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu yang sewaktu hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
9.      Pada hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah matahari terbenam, hal ini dianggap sebagai symbol dari kerja keras untuk bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.
10.  Betang yang dibangun tinggi dari permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para penghuni betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba, binatang buas, ataupun banjir yang terkadang datang melanda. Hampir semua betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.
11.  Betang di bangun menggunakan bahan kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.
12.  Pada halaman depan betang biasanya terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan adat. Pada halaman depan betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi sebagai rumah pemujaan.
13.  Pada bagian belakang dari betang dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu. Pada betang juga terdapat sebuah tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang keluarga yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.
Rumah Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekedar ungkapan legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya. Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang, menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari waktu ke waktu. Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul. Tak dapat dipungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kokoh dari kehidupan komunal masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga masyarakat lainnya. Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini. Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Rumah betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap. Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.
Rumah betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi), menganyam, dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang halus. Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.
(Berdasarkan observasi, wawancara dan catatan perjalanan Jelajah Wisata Budaya Kabupaten Katingan, Agustus 2016 )