Indonesia adalah negara
yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama dan ras, dimana setiap suku atau
agama tersebut memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang beragam,
unik dan khas. Beragam budaya tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang kita
dan nilai-nilai budaya tersebut terus diturunkan sampai generasi saat ini di
era globalisasi. Tentunya, keanekaragaman budaya tersebut menjadi sebuah
kebanggaan bagi kita bangsa Indonesia yang menjadikannya sebuah kekayaan bangsa
yang harus kita jaga dan terus kita lestarikan keberadaannya. Salah satu cara
untuk kita dapat menjaga dan melestarikan budaya adalah dengan mengenalnya
langsung, mendatangi berbagai wilayah-wilayah Indonesia sehingga kita dapat
mengetahui secara langsung bagaimana sebuah budaya tersebut hidup di dalam
kehidupan masyarakat. Indonesia memiliki beragam suku yaitu suku jawa, betawi,
sumatera, bugis, batak, dayak, papua dan lain sebagainya. Setiap suku tersebut
memiliki budaya dan adat istiadat masing-masing yang sampai saat ini masih
terus dipertahankan dalam kehidupan masyarakat. Salah satu budaya suku yang
akan kita ulas disini adalah budaya masyarakat suku dayak yang menganut agama
kepercayaan Kaharingan khususnya di wilayah Kalimantan Tengah.
Suku Dayak adalah nama
penduduk asli Kalimantan yang saat ini masih banyak tinggal di pedalaman
Kalimantan. Suku asli dayak mempunyai budaya maritim atau bahari karena nama
mereka banyak mempunyai arti dan berhubungan dengan sungai (karena banyaknya
sungai yang terdapat di pedalaman Kalimantan). Arti dari kata ‘dayak’ itu
sendiri masih terdapat beberapa versi yaitu ‘Dayak’ berarti manusia, sementara
banyak lainnya menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Bahwa orang-orang
Iban menggunakan istilah Dayak dengan arti manusia, sementara orang-orang
Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Ada banyak suku Dayak di
Kalimantan, Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun
Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan,
Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Suku
terbanyak adalah suku Dayak Kenyah yang memiliki aksesoris sebagai perhiasan
tubuh mereka. Umumnya suku Dayak memiliki perhiasan berupa manik-manik yang
terbuat dari batu alam. Masyarakat Dayak khususnya pria Dayak tidak mengenal
aksesoris batu lain selain perhiasan manik-manik. Aksesoris yang umumnya
digunakan adalah yang berasal dari hewan perburuan mereka, seperti taring dan
gigi beruang, taring babi. Jika di Papua taring babi dijadikan perhiasan yang
ditusukkan di hidung, pada Suku Dayak, taring tersebut dijadikan “buah” kalung
mereka. Selain itu ciri khas Suku Dayak lain yang unik adalah tato, di mana
tato bagi masyarakat Dayak memiliki makna yang sangat mendalam. Tato bagi
masyarakat etnis dayak merupakan bagian dari tradisi, religi, status sosial
seorang dalam masyarakat, serta bisa pula sebagai bentuk penghargaan suku
terhadap kemampuan seseorang.
Sebagian masyarakat Dayak yaitu masyarakat Dayak Meratus yang berada di
Kalimantan Selatan, oleh Dayak Tunjung, Benuaq (Kalimantan Timur), Dayak Ngaju
yang berada di Kalimantan Tengah, Dayak Luangan Ma’anyan, Tumon, dan Siang.
Dayak Uud Danum (Ot Danum) di Embalau dan Serawai (Kalimantan Barat) menganut
agama kepercayaan yang disebut dengan Kaharingan. Kaharingan berasal dari bahasa
Sangen (Dayak kuno) yang akar katanya adalah ’’Haring’’ Haring berarti
ada dan tumbuh atau hidup yang dilambangkan dengan Batang Garing atau Pohon
Kehidupan. Seperti halnya dengan agama lokal lainnya di Nusantara, keberadaan
mereka nyaris terabaikan, dan terpinggirkan. Bagi sebagian orang,
Kaharingan dianggap sebagai Agama Helo alias agama lama, Agama Huran alias
agama kuno, atau Agama Tato-hiang alias agama
nenek-moyang. Kaharingan yang sudah dianut sebagai kepercayaan sejak zaman
leluhur itu terbagi dalam dua jenis. Kaharingan murni yang sangat spesifik
mempraktikkan ritualnya, dan Kaharingan campuran, yang sudah berbaur dengan
agama lain, namun masih menjaga kepercayaan asli. Meski begitu, perbedaan
keduanya tak terlalu mencolok. Menurut kepercayaan ini, suku Dayak mempercayai
banyak dewa. Seperti dewa penguasa tanah, sungai, pohon, batu, dan sebagainya.
Dewa tertinggi memiliki sebutan berbeda di antara sub suku Dayak. Dayak Ot
Danum, misalnya, menyebut dewa tertinggi “Mahatara”, sedangkan Dayak Ngaju
menyebutnya “Ranying Mahatalla Langit”.
Penganut kepercayaan Kaharingan memiliki tempat pertemuan
yang berfungsi semacam tempat ibadah disebut dengan Balai Basarah atau Balai
Kaharingan. Juga memiliki waktu Ibadah rutin yang dilakukan setiap Kamis atau
malam Jumat. Sedangkan untuk hari raya atau ritual penting dari agama
Kaharingan adalah upacara Tiwah yaitu ritual kematian tahap akhir dan upacara
Basarah. Sebagai kepercayaan, Kaharingan memuat aturan hidup. Nilai dan isinya
bukan sekadar adat-istiadat, tapi juga ajaran berperilaku yang disampaikan
secara lisan turun temurun. Aturan hidup tersebut terdapat dalam sejumlah buku
suci yang memuat ajaran dan juga seperangkat aturan adalah: Panaturan (sejenis
kitab suci), Talatah Basarah (kumpulan doa), Tawar (petunjuk tata cara meminta
pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), Pemberkatan Perkawinan dan
Buku Penyumpahan / Pengukuhan untuk acara pengambilan sumpah jabatan.
Sebagai agama kepercayaan masyarakat Dayak Ngaju di
Kalimantan Tengah, Kaharingan telah ada beribu-ribu tahun sebelum
datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Kaharingan yang disimbolkan
dengan Pohon Kehidupan memiliki rincian makna filosofis sebagai berikut:
pemahaman pada Pohon Batang Garing yang menyimbolkan antara pohon sebagai dunia
atas dan guci sebagai dunia bawah merupakan dua dunia yang berbeda tapi diikat
oleh satu kesatuan yang saling berhubungan dan saling membutuhkan. Simbol pada
Buah Batang Garing, melambangkan tiga kelompok besar manusia sebagai keturunan
Maharaja Sangiang, Maharaja Sangen, dan Maharaja Nunu. Sementara Buah garing
yang menghadap arah atas dan bawah mengajarkan manusia untuk menghargai dua
sisi yang berbeda secara seimbang atau dengan kata lain mampu menjaga keseimbangan
antara dunia dan akhirat. Tempat bertumpu Batang Garing adalah Pulau Batu
Nindan Tarung yaitu pulau tempat kediaman manusia pertama sebelum manusia diturunkan
ke bumi. Di sinilah dulunya nenek moyang manusia, yaitu anak-anak dan cucu
Maharaja Bunu hidup, sebelum sebagian dari mereka diturunkan ke bumi ini.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Dengan demikian orang-orang Dayak diingatkan bahwa dunia ini adalah tempat tinggal sementara bagi manusia, karena tanah air manusia yang sebenarnya adalah di dunia atas, yaitu di Lawu Tatau. Dengan demikian sekali lagi diingatkan bahwa manusia janganlah terlalu mendewa-dewakan segala sesuatu yang bersifat duniawi. Pada bagian puncak terdapat burung enggang dan matahari yang melambangkan bahwa asal-usul kehidupan ini adalah berasal dari atas. Burung enggang dan matahari merupakan lambang lambang-lambang Ranying Mahatala Langit yang merupakan sumber segala kehidupan. Jadi inti lambang dari pohon kehidupan ini adalah keseimbagan atau keharmonisan antara sesama manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan.
Masyarakat Dayak memiliki berbagai
upacara/ritual adat yang sampai saat ini masih terus dilaksanakanan yaitu
1. Ritual
Tiwah
Ritual Tiwah yaitu prosesi
menghantarkan roh leluhur sanak saudara yang telah meninggal dunia ke alam baka
dengan cara menyucikan dan memindahkan sisa jasad dari liang kubur menuju
sebuah tempat yang bernama sandung. Ritual Tiwah dijadikan objek wisata karena
unik dan khas banyak para wisatawan mancanegara tertarik pada upacara ini yang
hanya di lakukan oleh warga Dayak Kalimantan Tengah. Tiwah merupakan upacara
ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah
(Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama
leluhur warga Dayak. Upacara Tiwah adalah upacara kematian yang biasanya
digelar atas seseorang yang telah meninggal dan dikubur sekian lama hingga yang
tersisa dari jenazahnya dipekirakan hanya tinggal tulangnya saja. Ritual Tiwah
bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah yang
bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – dalam Bahasa Sangiang) sehingga bisa
hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa. Selain itu, Tiwah Suku Dayak
Kalteng juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak
untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari
pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa. Bagi Suku Dayak, sebuah proses kematian
perlu dilanjutkan dengan ritual lanjutan (penyempurnaan) agar tidak mengganggu
kenyamanan dan ketentraman orang yang masih hidup. Selanjutnya, Tiwah juga
berujuan untuk melepas ikatan status janda atau duda bagi pasangan berkeluarga.
Pasca Tiwah, secara adat mereka diperkenakan untuk menentukan pasangan hidup
selanjutnya ataupun tetap memilih untuk tidak menikah lagi.
Bapak Sidie, pisor atau pemimpin
ritual tiwah di desa Tewang Rengas, Katingan menjelaskan, ritual tiwah
merupakan rukun kematian tingkat terakhir yang waktu pelaksanaannya tidak ditentukan.
Bisa dilaksanakan kapan saja sesuai kesiapan keluarga yang ditinggalkan.Sebelum
upacara tiwah dilaksanakan, terlebih dahulu digelar ritual lain yang dinamakan
upacara tantulak. Menurut kepercayaan Agama Kaharingan, setelah kematian, orang
yang meninggal dunia itu belum bisa langsung masuk ke dalam surga. Kemudian
digelarlah upacara tantulak untuk mengantar arwah yang meninggal dunia tersebut
menuju Bukit Malian, dan di sana menunggu diberangkatkan bertemu dengan Ranying
Hattala Langit, Tuhan umat Kaharingan, sampai keluarga yang masih hidup
menggelar upacara tiwah. Bukit Malian itu adalah alam rahim, tempat suci
manusia tinggal sebelum lahir ke dunia. Di alam itulah orang yang meninggal
dunia menunggu sebelum diberangkatkan menuju surga melalui upacara tiwah. Puncak
acara tiwah ini sendiri nantinya memasukkan tulang-belulang yang digali dari
kubur dan sudah disucikan melalui ritual khusus ke dalam sandung. Namun,
sebelumnya lebih dahulu digelar acara penombakan hewan-hewan kurban, kerbau,
sapi, dan babi.
2. Potong
Pantan
Potong Pantan adalah tradisi
menyambut tamu yang terdapat di masyarakat suku Dayak. potong pantan merupakan
tradisi penyambutan tamu yang sarat dengan makna kekeluargaan. Semboyan “tamu
adalah raja” masih berlaku bagi masyarakat di tempat ini. Mereka akan menyambut
kedatangan para tamu dengan meriah. Seluruh penduduk desa, dari ketua adat
hingga anak-anak, ikut menyambut dengan ritual adat yang mereka sebut potong
pantan. Upacara ini telah dilakukan sejak nenek moyang mereka, dan diwariskan
ke generasi berikut hingga kini. Dalam upacara ini, tamu yang datang akan
diminta memotong batang bambu hijau yang dipasang melintang di pintu masuk
dengan mengunakan sebilah pedang Mandau. Musik tradisional dan nyanyian
menggunakan bahasa Sangian mengiringi jalannya upacara. Bahasa Sangian
merupakan bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi dengan dunia arwah.
Sebelum dipersilakan masuk rumah, biasanya antara tamu dan tetua adat,
pertama-tama, diajukan beberapa pertanyaan, seperti siapa nama Anda, dari mana,
dan apa tujuan datang ke daerah ini. Semua pertanyaan itu harus dijawab. Dalam
proses itu, setiap selesai menjawab satu pertanyaan, bambu itu pun dipotong
sebagian hingga selesai. Tamu baru boleh masuk ketika semua penghalang itu
putus atau terpotong secara sempurna. Tradisi ini melambangkan orang Dayak
memiliki prinsip keterbukaan, menerima siapa pun yang datang ke wilayahnya asal
dengan iktikad baik. Tradisi ini ada juga yang hanya melilitkan kain sepanjang
kayu pantan.
Upacara ini dilakukan untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang buruk bagi penduduk setempat maupun para tamu. Yang
perlu Anda ketahui dalam tradisi ini, secara kepercayaan adat setempat, apabila
kayu tersebut dipotong tanpa halangan, berarti tamu tersebut dapat diterima dan
dilancarkan jalannya saat berkunjung ke sana. Begitu pun sebaliknya, apabila
tidak berhasil dipotong secara lancar, berarti tamu tersebut patut
dipertanyakan perihal maksud dan tujuan kedatangan mereka ke tanah suku Dayak
tersebut. Setelah bambu terpotong, semua orang akan berteriak dan bertepuk
tangan. Mereka bergembira lantaran rintangan telah berhasil dilalui. Iringan
tabuhan musik pun kian keras, menandakan puncak tradisi potong pantan. Setelah
prosesi potong kayu telah lewat, penduduk lalu mengoleskan bubuk putih di pipi
atau minyak kelapa di ubun-ubun para tamu. Acara pun dilanjutkan dengan suguhan
tari-tarian yang diiringi dengan musik tradisional. Dalam menyambut tamu,
mereka juga memotong hewan korban sebagai bentuk penghormatan bagi arwah nenek
moyang. Ritual ini dipimpin seorang pemuka agama yang juga diiringi doa dengan
menggunakan bahasa Sangian. Upacara yang sama dilakukan saat para tamu hendak
meninggalkan tempat tersebut. Prosesi yang sama dilalui para tamu, seperti
dioleskan minyak kelapa dan taburan bubuk putih di pipi dan sebagainya.
Pantan bisa juga diartikan sebagai
pohon penghalang atau kayu perintang. Ini biasanya diperuntukkan dalam
menyambut tamu-tamu pejabat atau tamu terhormat dari luar daerah, atau
menyambut para pahlawan yang baru pulang dari medan peperangan dengan membawa
kemenangan. Secara nilai, acara potong pantan mengandung dua makna, yaitu
sebagai ungkapan kebanggaan, suka cita dan mengusir, menghalau firasat buruk,
mimpi buruk, serta gangguan penghalang dan rintangan. Dengan demikian, para
tamu yang memotong pantan selalu mendapat perlindungan dari Pencipta Alam
Semesta atau Yang Maha Kuasa sehingga para tamu tadi mendapat kesehatan, umur
yang panjang, kemudahan rezeki, dan dalam menjalankan tugas mendapat
kesuksesan. Berdasarkan sejarah, ternyata penghalang yang digunakan dalam
tradisi potong pantan ini memiliki kegunaan dan peruntukannya masing-masing
yaitu sebagai berikut :
1. Pantan haur (bambu) digunakan untuk
penyambutan bagi orang yang baru pulang dari medan perang dengan membawa
kemenangan dan pantan jenisnya menggunakan haur kuning (bambu kuning).
2. Pantan balanga (tajaw) akan
digunakan pada saat mengadakan acara perkawinan adat, sebagai simbol
kebangsawanan atau status sosial.
3. Pantan garantung (gong) tujuannya
sama dengan balanga (tajaw).
4. Pantan bawi yaitu menggunakan para
gadis remaja, biasanya dilakukan pada waktu pesta perkawianan.
5. Pantan bahalai (kain panjang)
digunakan untuk para tamu pejabat, orang terhormat status perempuan yang sulit
menggunakan Mandau.
6. Pantan tewu (tebu) digunakan pada
acara kegiatan bergotong royong saat-saat panen atau mengerjakan ladang.
3. Rumah
Betang
Rumah
Betang adalah rumah adat khas Kalimantan yang terdapat di berbagai penjuru
Kalimantan, terutama di daerah hulu sungai yang biasanya menjadi pusat
pemukiman suku Dayak, dimana sungai merupakan jalur transportasi utama bagi
suku Dayak untuk melakukan berbagai mobilitas kehidupan sehari-hari seperti
pergi bekerja ke ladang dimana ladang suku Dayak biasanya jauh dari pemukiman
penduduk, atau melakukan aktifitas perdagangan (jaman dulu suku Dayak biasanya
berdagang dengan menggunakan system barter yaitu dengan saling menukarkan hasil
ladang, kebun maupun ternak).
Ciri-ciri
Rumah Betang yaitu yaitu bentuk panggung dan memanjang. Panjangnya bisa mencapai
30-150 meter serta lebarnya dapat mencapai sekitar 10-30 meter, memiliki tiang
yang tingginya sekitar 3-5 meter. Biasanya Betang dihuni oleh 100-150 jiwa,
Betang dapat dikatakan sebagai rumah suku, karena selain di dalamnya terdapat
satu keluarga besar yang menjadi penghuninya dan dipimpin pula oleh seorang Pambakas Lewu. Bagian
dalam betang terbagi menjadi beberapa ruangan yang bisa dihuni oleh setiap
keluarga. Berdasarkan kepercayaan suku Dayak ada ketentuan khusus dalam
peletakan ruang pada Rumah Betang yaitu:
1. Pusat
atau poros bangunan dimana tempat orang berkumpul melakukan berbagai macam
kegiatan baik itu kegiatan keagaman, sosial masyarakat dan lain-lain maka ruang los,
harus berada ditengah bangunan.
2. Ruang tidur,
harus disusun berjajar sepanjang bangunan Betang. Peletakan ruang tidur anak
dan orang tua ada ketentuan tertentu dimana ruang tidur orang tua harus berada
paling ujung dari aliran sungai dan ruang tidur anak bungsu harus berada pada
paling ujung hilir aliran sungai, jadi ruang tidur orang tua dan anak bungsu
tidak boleh diapit dan apabila itu dilanggar akan mendapat petaka bagi seisi
rumah.
3. Bagian
dapur
harus menghadap aliran sungai, menurut mitos supaya mendapat rezeki.
4. Tangga
yang disebut hejo. Tangga dalam ruangan rumah adat Betang harus berjumlah
ganjil, tetapi umumnya berjumlah 3 yaitu berada di ujung kiri dan kanan, satu
lagi di depan sebagai penanda atau ungkapan rasa solidaritas menurut mitos
tergantung ukuran rumah, semakin besar ukuran rumah maka semakin banyak tangga.
5. Pante
adalah lantai tempat menjemur padi, pakaian, untuk mengadakan upacara adat
lainnya. Posisinya berada didepan bagian luar atap yeng menjorok ke luar.
Lantai pante terbuat dari bahan bambu, belahan batang pinang, kayu bulatan
sebesar pergelangan tangan atau dari batang papan.
6. Serambi
adalah pintu masuk rumah setelah melewati pante yang jumlahnya sesuai dengan
jumlah kepala keluarga. Di depan serambi ini apabila ada upacara adat kampung
dipasang tanda khusus seperti sebatang bambu yang kulitnya diarit halus
menyerupai jumbai-jumbai ruas demi ruas.
7. Sami
berfungsi ruang tamu sebagai tempat menyelenggarakan kegiatan warga yang
memerlukan.
8. Jungkar.
Tidak seperti raungan yang pada umumnya harus ada. Sementara Jungkar sebagai
ruan tambahan dibagian belakang bilik keluarga masing-masing yang atapnya
menyambung atap rumah panjang atau ada kalanya bumbung atap berdiri sendiri
tapi masih merupakan bagian dari rumah panjang. Jungkar ditempatkan di tangga
masuk atau keluar bagi satu keluarga, agar tidak mengganggu tamu yang sedang
bertandang. Jungkar yang atapnya menyambung pada atap rumah panjang dibuatkan
ventilasi pada atap yang terbuka dengan ditopang/disanggah kayu yang sewaktu
hujan atau malam hari dapat ditutup kembali.
9. Pada
hulunya haruslah searah dengan matahari terbit dan sebelah hilirnya ke arah
matahari terbenam, hal ini dianggap sebagai symbol dari kerja keras untuk
bertahan hidup mulai dari matahari terbit hingga terbenam.
10. Betang yang dibangun tinggi dari
permukaan tanah dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang meresahkan para
penghuni betang, seperti menghindari musuh yang dapat datang tiba-tiba,
binatang buas, ataupun banjir yang terkadang datang melanda. Hampir semua
betang dapat ditemui di pinggiran sungai-sungai besar yang ada di Kalimantan.
11. Betang di bangun menggunakan bahan
kayu yang berkualitas tinggi, yaitu kayu
ulin, selain memiliki kekuatan yang bisa
berdiri sampai dengan ratusan tahun, kayu ini juga anti rayap.
12. Pada halaman depan betang biasanya
terdapat balai sebagai tempat menerima tamu maupun sebagai tempat pertemuan
adat. Pada halaman depan betang selain terdapat balai juga dapat dijumpai sapundu. Sapundu merupakan sebuah patung atau totem yang pada umumnya berbentuk manusia yang memiliki ukiran-ukiran
yang khas. Sapundu memiliki fungsi sebagai tempat untuk mengikatkan
binatang-binatang yang akan dikurbankan untuk prosesi upacara adat. Terkadang
terdapat juga patahu di halaman betang yang berfungsi
sebagai rumah pemujaan.
13. Pada bagian belakang dari betang
dapat ditemukan sebuah balai yang berukuran kecil yang dinamakan tukau yang digunakan sebagai gudang untuk
menyimpan alat-alat pertanian, seperti lisung atau halu. Pada betang juga terdapat sebuah
tempat yang dijadikan sebagai tempat penyimpanan senjata, tempat itu biasa
disebut bawong. Pada bagian depan atau bagian
belakang betang biasanya terdapat pula sandung. Sandung adalah sebuah tempat penyimpanan tulang-tulang
keluarga yang sudah meninggal serta telah melewati proses upacara tiwah.
Rumah
Panjang/Rumah Betang bagi masyarakat Dayak tidak saja sekedar ungkapan
legendaris kehidupan nenek moyang, melainkan juga suatu pernyataan secara utuh
dan konkret tentang tata pamong desa, organisasi sosial serta sistem
kemasyarakatan, sehingga tak pelak menjadi titik sentral kehidupan warganya.
Sistem nilai budaya yang dihasilkan dari proses kehidupan rumah panjang,
menyangkut soal makna dari hidup manusia; makna dari pekerjaan; karya dan amal
perbuatan; persepsi mengenai waktu; hubungan manusia dengan alam sekitar; soal
hubungan dengan sesama. Dapat dikatakan bahwa rumah betang memberikan makna
tersendiri bagi masyarakat Dayak. Rumah betang adalah pusat kebudayaan mereka
karena disanalah seluruh kegiatan dan segala proses kehidupan berjalan dari
waktu ke waktu. Rumah betang memang bukan sebuah hunian mewah dengan aneka
perabotan canggih seperti yang diidamkan oleh masyarakat modern saat ini. Rumah
betang cukuplah dilukiskan sebagai sebuah hunian yang sederhana dengan
perabotan seadanya. Namun, dibalik kesederhanaan itu, rumah betang menyimpan
sekian banyak makna dan sarat akan nilai-nilai kehidupan yang unggul. Tak dapat
dipungkiri bahwa rumah telah menjadi simbol yang kokoh dari kehidupan komunal
masyarakat Dayak. Dengan mendiami rumah betang dan menjalani segala proses
kehidupan di tempat tersebut, masyarakat Dayak menunjukkan bahwa mereka juga
memiliki naluri untuk selalu hidup bersama dan berdampingan dengan warga
masyarakat lainnya. Mereka mencintai kedamaian dalam komunitas yang harmonis
sehingga mereka berusaha keras untuk mempertahankan tradisi rumah betang ini.
Harapan ini didukung oleh kesadaran setiap individu untuk menyelaraskan setiap
kepentingannya dengan kepentingan bersama. Kesadaran tersebut dilandasi oleh
alam pikiran religio-magis, yang menganggap bahwa setiap warga mempunyai nilai
dan kedudukan serta hak hidup yang sama dalam lingkungan masyarakatnya. Rumah
betang selain sebagai tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan
tradisional warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di
rumah panjang menyerupai suatu proses pendidikan tradisional yang bersifat
non-formal. Rumah betang menjadi tempat dan sekaligus menjadi sarana yang
efektif bagi masyarakat Dayak untuk membina keakraban satu sama lain. Di tempat
inilah mereka mulai berbincang-bincang untuk saling bertukar pikiran mengenai
berbagai pengalaman, pengetahuan dan keterampilan satu sama lain. Hal seperti
itu bukanlah sesuatu yang sukar untuk dilakukan, meskipun pada malam hari atau
bahkan pada saat cuaca buruk sekalipun, sebab mereka berada di bawah satu atap.
Demikianlah pengalaman, pengetahuan dan keterampilan diwariskan secara lisan
kepada generasi penerus. Dalam suasana kehidupan rumah panjang, setiap warga
selalu dengan sukarela dan terbuka terhadap warga lainnya dalam memberikan
petunjuk dan bimbingan dalam mengerjakan sesuatu. Kesempatan seperti itu juga
terbuka bagi kelompok dari luar rumah panjang.
Rumah
betang selain tempat kediaman juga merupakan pusat segala kegiatan tradisional
warga masyarakat. Apabila diamati secara lebih seksama, kegiatan di rumah
betang menyerupai proses pendidikan tradisional yang bersifat non formal. Dalam
masyarakat Dayak terdapat pembagian tugas atau perbedaan dalam mengerjakan seni
tradisional. Kaum pria terampil dalam ngamboh (pandai besi), menganyam,
dan mengukir, sedangkan wanita lebih terampil dalam menenun dan menganyam yang
halus. Dalam kelompok yang relatif kecil lebih mudah bagi setiap warga untuk
berusaha menambah pengetahuan dan keterampilannya, sehingga mereka dapat
berguna dalam masyarakat, sebab apabila mereka tidak memiliki pengetahuan dan
keterampilan yang memadai mereka dianggap pemalas.
(Berdasarkan observasi, wawancara dan catatan perjalanan Jelajah Wisata Budaya Kabupaten Katingan, Agustus 2016 )